Langsung ke konten utama

Awkarin Sebagai Agen Sosialisasi Penyimpangan

                            


Awkarin, Sebuah Potret Degradasi Moral Generasi Muda Indonesia
Hanifah Tiara Hakim 
Pendidikan Sosiologi B 2015

Abstrak
Artikel ini mendiskusikan perihal tingkah laku seorang remaja yang merupakan cerminan bagi lunturnya moral generasi muda Bangsa Indonesia. Kelunturan tersebut tentu memiliki sebab dan akibat. Disini mencoba mengkaji beberapa penyebab, diantaranya adalah fungsi keluarga yang berjalan kurang benar, kemajuan teknologi yang pesat, dan media sosial sebagai agen sosialisasi bebas berujung pada westernisasi. Sedangkan akibat dari kasus yang akan dibahas disini adalah, suatu bentuk kecemasan para orang tua akan perkembangan serta perilaku sang anak serta kehancuran moral bangsa besar yang notabene mengadopsi budaya ketimuran. Selain itu, kasus ini merupakan kasus individu yang selanjutnya dilegitimasi banyak orang sehingga mencuat ke permukaan dan akhirnya viral di masyarakat modern kini khususnya bagi pengguna sosial media.
Pendahuluan
Zaman terus berubah setiap hal didalamnya terus bergerak maju ke arah pembaharuan, dari teknologi hingga budaya, semua menuju ke arah yang lebih canggih, mudah, dan efisien. Globalisasi, suatu kata yang menggambarkan perkembangan kemajuan zaman saat ini. Dengan globalisasi, kini manusia dapat mengetahui berbagai hal di lingkungan luar serta mengubah diri dari yang tadinya manusia biasa menjadi manusia modern yang “kekinian” atau melek informasi. Globalisasi mengakibatkan banyak perubahan, terdapat  perubahan positif maupun perubahan negatif, salah satunya adalah westernisasi. Westernisasi sendiri adalah ketika budaya barat yang bebas dan negatif masuk dan mempengaruhi Negara yang berbudaya asli ataupun mengadopsi kebudayaan timur sebagai identitas budayanya.
Westernisasi dapat masuk melalui sarananya, yakni media sosial. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi jika saat ini orang-orang banyak menggunakan media social, alasan utamanya adalah untuk dapat mengakses informasi ataupun sekedar berkomunikasi mulai dari hal yang kurang penting  hingga hal yang sangat penting. Dengan menggunakan media sosial, setiap individu berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang eksistensi dirinya[1]. Secara tidak langsung, hal ini memaksa diri pengguna media social untuk memamerkan atau mem-posting apa-apa saja yang ia lakukan demi mendapatkan respon orang lain dan berujung pada kepuasan batin bagi dirinya.

Dalam mem-posting tentang berbagai hal perlu adanya pemilahan terlebih dahulu, alangkah baiknya jika hal tersebut membawa manfaat atau dampak positif  bagi orang lain atau setidaknya sekedar membagikan momen kebahagiaan. Dalam pembahasan disini, akan membahas mengenai masalah posting-an media sosial dari salah satu remaja Indonesia yang menjadi cerminan terjadinya degradasi moral pada generasi muda Indonesia saat ini. Namanya adalah Karin Novilda atau biasa disebut Awkarin, ia lahir pada tahun 1997 dari pasangan ayah dan ibu yang keduanya berprofesi sebagai dokter. Posting-an Awkarin menjadi viral di media social dan membuat resah banyak orang tua dengan banyaknya konten dewasa yang negatif dan kasar. Kekhawatiran ini semakin besar setelah diketahui bahwa mayoritas pengikut dan penikmat setiap posting-annya merupakan anak-anak remaja serta anak yang masih di bawah umur. Untuk membahas kasus ini, akan dikaji dengan teori sosiologi modern milik C. Wright Mills mengenai sosiologi imajinasi.

Keluarga, Media Sosial, dan Remaja Modern Sekarang
Perilaku remaja masa kini semakin berkembang sesuai perkembangan zaman, hal ini ditopang pula dengan tempat dimana mereka tinggal dan bergaul. Pada dasarnya, masa remaja adalah masa dimana seorang manusia mencari identitasnya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh dua hal, yakni internal dan eksternal. Internal disini adalah keluarga, dimana keluarga adalah sebagai agen sosialisasi primer yang peran dan fungsinya sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadian awal setiap orang. Keluarga dikatakan sebagai agen sosialisasi primer karena keluargalah yang akan menginternalisasikan setiap nilai, norma, serta budaya yang nantinya akan menjadi akar dari perilaku manusia muda. Selanjutnya, manusia muda akan mengalami sosialisasi sekunder, ini yang dimaksudkan dengan pengaruh eksternal. Pengaruh ini berasal dari lingkungan luar keluarga tempat manusia tadi bergaul, bermain, dan bertempat tinggal. Pada tahapan anak dibawah umur, sosialisasi primer sangatlah berpengaruh dan juga penting, namun setelah sang anak mulai belajar bergaul dengan dunia luar tadi maka pengaruh keluarga mulai berkurang tergeser dengan adanya pengaruh dari orang sekitar dan teman bergaulnya. Masa tahapan remaja  teman sebaya sangatlah berpengaruh karena masa ini adalah masa pencarian jati diri menuju kea rah dewasa. Teman sebaya disini sangat berpengaruh akibat  seringnya berinteraksi bahkan cenderung berkali-kali menghabiskan waktu bersama setiap hari.
Zaman sekarang, anak remaja mulai mengikuti perkembangan zaman, fungsi sosialisasi keluarga dan juga fungsi edukasi serta proteksinya mulai melemah akibat tergeserkan oleh media sosial yang terlahir dengan adanya perkembangan IPTEK yang sangat modern. Masa remaja hendaknya digunakan sebaik mungkin untuk menuntut ilmu dan bersosialisasi pada tempat yang seharusnya agar tercipta kepribadian yang santun dan agamis, namun para remaja telah diracuni oleh budaya asing (westernisasi) sehingga mereka berubah haluan dari kepribadian bangsa timur yang tertutup menjadi budaya barat yang “ buka-bukaan” . Menurut Fanggidae hal tersebut disebut Pergeseran Nilai akibat majunya arus informasi dari dunia internasional (Fanggidae, 1993:6)[2].
Saat ini, banyak remaja yang terpengaruh dengan perkembangan zaman, seperti yang dibahas di paragraph sebelumnya, mereka terpengaruh dengan kecanggihan zaman, kehadiran smartphone, serta sirkulasi inovasi media sosial yang semakin hari semakin mudah dan menghadirkan informasi yang cenderung bebas dan berdampak negative. Negative disini salah satunya digambarkan dengan banyaknya informasi berbau seksual yang bisa dibilang tidak sesuai dengan usia ataupun budaya ketimurannya Indonesia.
Banyak remaja Indonesia yang menjadi korban kemajuan zaman tanpa mereka sadari. Disini harusnya peran keluarga muncul diantara kedua pihak, antara remaja dan juga kecanggihan zaman khususnya di media sosial. Harusnya keluarga dapat mensosialisasikan apa-apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anak-anaknya. Selain itu, keluarga juga harus menguatkan fungsi proteksinya terhadap anak-anak remaja, hal ini demi mencegah terjadinya penyimpangan dan teraksesnya informasi yang tidak seharusnya diperoleh sang anak. Namun jika dilihat dalam media sosial saat ini, banyak keluarga yang membebaskan anaknya, meninggalkan fungsi-fungsi yang seharusnya mereka lakukan terhadap sang anak.

Awkarin, dari Dipuji Hingga Dilaporkan ke KPAI
Nama lengkapnya adalah Karin Novilda, ia merupakan salah satu remaja Indonesia yang  kreatif, pintar, dan “kekinian”. Salah satu potret generasi muda Indonesia yang selalu mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Banyak hal modern yang mempengaruhi dirinya, tentu ada hal positif maupun negative. Positifnya, pengetahuannya semakin berkembang sesuai zaman, namun disini penulis lebih menekankan pada hal negative yang mempengaruhi dirinya yang selanjutnya akan menjadi suatu kecemasan bagi banyak orang khususnya orang tua dari para remaja di Indonesia yang mengetahui informasinya.
Pertama, mengenai biografi dalam kasus yang akan dibahas, Karin Novilda atau biasa disebut Awkarin merupakan seorang anak remaja yang pernah mengukir prestasinya berupa nilai UN tertinggi di wilayahnya untuk jenjang SMP, ini merupakan hal yang sangat positif dan membanggakan. Dalam beberapa wawancara oleh pihak media saat itu, Awkarin mengatakan bahwa dirinya sangat menjauhi media sosial sebisa mungkin karena dampak yang dimunculkan oleh media sosial tadi yang dianggapnya menghambat dalam memperoleh prestasi yang cemerlang. Ia dipuja-puji saat itu atas prestasi yang ia raih, usaha yang ia lakukan sangat diacungi jempol oleh banyak orang. Namun, waktu semakin berjalan, globalisasi menghasilkan banyak dampak negative melalui westernisasinya, Karin yang dulunya polos dan cerdas kini mulai terkena dampaknya. Ia lebih menyukai hal-hal berbau western yang cenderung negative bahkan ia mem-posting banyak informasi, foto-foto, serta video dirinya dan teman-temannya saat ini di media sosial yang cenderung fulgar, kasar, dan juga tidak patut diperlihatkan pada orang banyak.
Dalam postingannya, Awkarin banyak menggunakan kata-kata kasar dan juga berbau konten seksual yang memperlihatkan kerusakan moral pada dirinya. Selain itu ia juga mulai bergaul dengan orang-orang dewasa yang bebas mengkonsumsi minuman keras sampai party-party ala western yang hanya mengenakan pakaian renang. Dari berbagai postingannya, dapat ditemukan banyak komentar yang cenderung memuji apa yang ia lakukan, walaupun disamping itu ada pula yang mencacinya. Setelah ditelusuri, ternyata para pemberi komentar positif dalam setiap posting-an negatif di akunnya adalah anak-anak usia remaja hingga anak di bawah umur. Mereka cenderung menyukai apa yang dilakukan Awkarin walaupun jika dilihat dari segi nilai dan norma budaya Indonesia, yang dilakukan Awkarin adalah suatu hal yang menyimpang, inilah bagian yang sangat mirisnya.
Akibat dari setiap postingan Awkarin, kini semakin banyak anak remaja yang lebih memilih untuk bergaya kebarat-baratan. Tentunya bukan Awkarin saja yang membawa westernisasi ke dalam kultur Indonesia, namun dengan apa yang ia lakukan ini membuat para remaja merasa terdukung untuk melakukan hal yang sama bahkan yang lebih. Awkarin sendiri merupakan korban dari kemajuan zaman dan akan melahirkan korban-korban selanjutnya apabila kasus seperti dirinya didiamkan.
Menurut banyak media, ratusan orang tua memberikan  laporan pengaduan kepada KPAI, Forum Perlindungan Anak dan Perempuan, dan juga Kementrian Kominfo tentang ketidak setujuan mereka terhadap apa yang dipostingkan oleh Awkarin. Hasilnya, dari pengaduan tadi Awkarin bersama temannya dipanggil untuk mendapatkan  teguran atas apa yang ia lakukan di media sosial. Setelah pemanggilan tersebut, kini akun Awkarin mulai mengurangi postingan berbau negatifnya, namun itu bukan berarti ia tidak memposting hal yang berbau kebaratan, hanya saja hal tersebut terbalut rapih sehingga kelihatannya seperti hal yang baik-baik saja.
Banyak informan yang memberitakan kasus Awkarin ini sampai-sampai berita mengenai keluarganya. Menurut para informan dikatakan bahwa orang tua Awkarin merupakan orang tua yang sibuk, dan keluarganya juga merupakan keluarga dari kelas atas yang penghasilannya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan. Jika dianalisa,  keluarga Awkarin ini tidak melakukan fungsinya secara baik dan maksimal, dimana fungsi sosialisasi dan fungsi proteksinya tidak berjalan semestinya akibat kesibukan pada kedua orang tuanya dan pada akhirnya Awkarin menjadi korban.
Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa[3]. Itulah hal yang dilakukan anak-anak dalam masa perkembangannya, oleh karenanya lagi-lagi ditekankan peranan keluarga haruslah ada disini.

Analisis Kasus Awkarin dengan Imajinasi Sosiologi Wright Mills
Imajinasi sosiologi merupakan salah satu teori modern sosiologi yang merupakan hasil pemikiran Wright Mills atas inspirasinya dari realitas sosial milik Max Weber. Imajinasi sosiologi menjadi pisau analisis baru yang menambah cara analisa sosiologi. Teori ini membahas mengenai informasi masalah pribadi yang kemudian akibat banyaknya pengulangan serta pelegitimasian atau pengakuan dari banyak pihak, menjadi masalah public, ataupun sebaliknya, masalah public yang mempengaruhi individu yang menyebabkan masalah pribadi.
Dalam membahas kasus Awkarin ini, penulis menganalisa bahwa kasus ini sebenarnya adalah kasus pribadi yang mencuat menjadi kasus sosial. Pribadi disini adalah masalah dalam diri Awkarin dengan keluarganya serta perilaku Awkarin yang cenderung menyimpang dari nilai dan norma Indonesia. Namun, hal ini dapat menjadi kasus sosial dengan adanya media sosial. Dengan adanya postingan dari Awkarin dan teman-temannya yang menggambarkan atau bisa juga diartikan mencontohkan perilaku generasi muda yang terkena dampak westernisasi. Perilakunya cenderung ditiru oleh para anak remaja Indonesia yang kebanyakan sebagai penonton dan pada akhirnya pun akan menjadi korban atas internalisasinya hal-hal yang dilakukan Awkarin. Mereka menganggap apa yang dilakukan Awkarin sebagai suatu tujuan hidup atau goals dan relationship goalsnya seorang remaja “kekinian”.
Kasus Awkarin ini diakses oleh banyak orang secara terus-menerus dan dilegitimasikan oleh masyarakat pengguna media sosial sehingga informasi ini sempang menjadi topic yang hangat diperbincangkan. Namun, dengan adanya sirkulasi informasi, dimana setiap informasi akan terus berputar tergantikan dengan hal yang baru maka kasus Awkarin kini sudah mulai redup dan bahkan sebentar lagi hilang tergantikan dengan informasi terbaru lainnya yang lebih booming.

Kesimpulan
Kesimpulan dari kasus ini adalah, pada dasarnya perubahan merupakan suatu pergerakan, perubahan IPTEK adalah pergerakan menuju era modernisasi yang dinamis, yang menawarkan segala kebebasan dan kemudahannya. Segala hal memiliki dampak, begitu pula perubahan hal ini, namun disini lebih menekankan pada perubahan yang negative. Negative disini lebih mengacu kepada genersi muda atau anak remaja yang ada di Indonesia. Mereka cenderung mengikuti dan bahkan merubah persepsi dari yang semula berupa hal yang negative diubah menjadi hal yang positif.
Kasus Awkarin ini, merupakan cerminan salah satu anak remaja Indonesia yang mengaami perubahan regresif dan menjadi korban atas kemajuan zaman dan kehilangan fungsi keluarga sebenarnya. Disini, peran keluarga yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok seorang anak menghilang akibat adanya kesibukan yang dilakukan oleh orang tuanya. Seharusnya, orang tua yang baik melakukan fungsi keluarga dengan benar dan dapat memberikan contoh bagi anak-anaknya. Awalnya dipuja-puji, akhirnya dicaci maki, itulah hal yang terjadi pada Awkarin kini, itu akibat ulahnya yang merupakan korban dari westernisasi.
Melalui konsep teori sosiologi imajinasi ini, dapat memandang kasus Awkarin dari berbagai perspektif , yang inti dasarnya adalah masalah privat yang dilegitimasikan masyarakat sehingga menjadi masalah sosial yang dapat memperburuk nama bangsa karena ini dapat menjadi cerminan atas apa yang terjadi pada remaja Indonesia saat ini.

Saran
Demikian sebuah kasus yang dapat dibahas oleh penulis dengan menggunakan teori sosiologi imajinasi milik Wright Mills, pada dasarnya, teori ini merupakan suatu pisau analisa modern yang tercipta dari pemikiran awal Max Weber. Disini, teori tadi digunakan kepada kasus Awkarin yang pernah menjadi kasus populer di media sosial khususnya Instagram, Youtube, dan Twitter.
Saran dari penulis mengenai kasus ini adalah:
1.      Karena keluarga merupakan tempat awal seorang anak belajar, maka sudah seharusnya keluarga khususnya orang tua dapat melakukan seluruh  fungsinya  dengan baik terhadap anaknya. Kasus Awkarin ini dapat dikatakan sebagai kasus penelantaran orang tua terhadap anaknya dalam hal perlindungan sehingga sang anak terkena dampak negative westernisasi dan kehilangan nilai dan norma awal yang telah diinternalisasikan sebelumnya oleh keluarga.
2.      Sebagai generasi muda, sudah seharusnya bagi para remaja Indonesia kini dapat cerdas memilah milih mana informasi yang baik dan yang buruk, yang harus dan yang tidak harus dilakukan dan dicontoh. Oleh karena itu, harus dapat membatasi serta mengkontrol diri dari berbagai hal-hal negative efek dari westernisasi dengan media sosial sebagai jembatan penghubungnya.
3.      Bagi pemerintah, merupakan suatu kewajiban untuk memproteksi informasi yang dapat diakses dengan menggunakan batasan usia tidak hanya di beberapa situs tapi juga diseluruh media sosial karena ini juga dapat menjadi sumber bagi hal-hal konten berbau negative yang dapat merusakj kepribadian generasi muda. Karena sesungguhnya pasti Negara ini akan dipimpin oleh generasi uda saat ini nantinya, maka dari itu kerusakan generasi muda saat ini maka akan merusak pula pemimpin masa depan nanti.






























Daftar Pustaka


 

B. Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan. Penerbit Erlangga.
Dr. Ali Maksum, M. M. (2016). Sosiologi Pendidikan. Malang: Madani (Kelompok Intrans Publishing).
E. Taylor, S., Peplau, L. A., & O. Sears, D. (2009). Psikologi Sosiologi . Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GRUP.
Gunana, D. N. (1988). Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Henslin, J. M. (2006). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Penerbit Erlangga.
Hidayat, R. (2016). Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Jonaidi. (2013). Analisis Sosiologi Terhadap Perilaku Menyimpang Siswa Pada SMA Pembangunan Kabupaten Malinau.
Khaeruni, N. (2016). Dampak Positif dan Negatif Sosial Media terhadap Akhlak Anak.
Leonard, A. (2016). Penggunaan Media Sosial sebagai Eksistensi Diri.
Parrish, B. (2004). Teaching Adult ESL a Practical Introduction. McGraw-Hill.
Pendidikan Budi Pekerti Pada Kurikulum Sekolah Dasar. (2014).
Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Susanti, I. (2013). Perilaku Menyimpang Dikalangan Remaja Pada Masyarakat Karangmojo Plandaan Jombang.





[1] Alboin Leonard PS, Penggunaan Media Sosial Sebagai Eksistensi Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Untuk Eksistensi Diri pada Mahasiswa FISIP UNS Tahun Ajaran 2015/2016), hlm. 9

[2] Iis Susanti, Perilaku  Menyimpang Dikalangan Remaja Pada Masyarakat Karangmojo Plandaan Jombang, hlm. 2

[3] Prof. Dr. Suriani, SH., MH, Achmad Siswanto, MSi, dan Ahmad Tarmiji Alkhudri, M.Si, Bahan Ajar Sosiologi Pendidikan(2016), hlm. 66




Komentar