Langsung ke konten utama

Media Sosial Jembatan Penggerus Toleransi Dan Jati Diri Bangsa (Kasus SARA di Indonesia)


Media Sosial Jembatan Penggerus Toleransi Dan Jati Diri Bangsa
(Kasus SARA di Indonesia)[1]
Oleh: Hanifah Tiara Hakim[2]

Media sosial merupakan suatu alat yang digunakan manusia abad ini sebagai sarana komunikasi yang paling cepat dan efisien. Terdapat berbagai macam informasi yang dapat diperoleh dan dibagikan  melalui media sosial. Seiring berjalannya waktu, tentunya terjadi progresitas terhadap pengguna media sosial dari seluruh dunia. Semakin banyak  informasi yang simpang siur kebenarannya dan disebarkan berdasarkan kepentingan golongan tertentu atau juga pesan-pesan “politik golongan” yang tersirat didalamnya seperti “hidden curriculum”. Pihak-pihak golongan tadi membuat suatu framing informasi sesuai dengan tujuannya yang nantinya akan merubah sedikit demi sedikit pola pikir masyarakat netizen yang tentunya akan berkembang luas pula kedalam masyarakat awam (bukan pengguna media sosial) melalui proses interaksi secara langsung dan terjadilah perubahan sosial.

Media sosial dianggap sebagai media atau alat yang sangat baik untuk melakukan propaganda, hal ini tentunya tidak disia-siakan oleh para banyak golongan yang menginginkan kejayaan dan kekuasaan. Propaganda saat ini marak terjadi di media sosial internet, baik tersirat secara terang-terangan juga tersurat dalam “hidden curriculum”. Propaganda dapat merubah pikiran seseorang dan juga mengerahkan diri orang tersebut untuk melakukan hal yang dikatakan oleh pesan propaganda tadi, yang secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai media “brainwash” masyarakat netizen. Jika dikaitkan dengan kasus yang terjadi saat ini di Indonesia, media sosial tadi dapat merubah pemikiran generasi bahkan dapat menghilangkan pola pikir yang ditanamkan oleh generasi sebelum-sebelumnya. Dalam tulisan ini akan membahas mengenai media sosial internet sebagai alat “brainwash” golongan tertentu di Indonesia yang ingin merubah jati diri bangsa.

Jika dibahas secara terbuka, kasus konflik SARA memang sering terjadi di Indonesia yang merupakan negara kesatuan ini. Sudah sejak lama konflik berbau SARA terjadi di negeri kesatuan ini. Akibat keberagaman rakyatnya? Mungkin. Atau akibat golongan yang ingin dimenangkan? Mungkin pula. Jika difokuskan pada kasus konflik SARA khususnya agama, kasus Penistaan agama oleh Ahok mungkin menjadi konflik yang saat ini sangat diingat oleh masyarakat. Dalam kasus ini, Ahok dikatakan menistakan agama Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia[3]. Banyak demonstran yang datang serta banyak pula hujatan yang diterima Ahok. Jika diamati, kasus SARA tadi sangat “membooming” saat itu. Besar dampak yang terjadi akibat kasus tersebut. Salah satunya adalah menciutnya toleransi bagi rakyat Indonesia, ini mungkin tidak terlihat dengan sangat jelas namun ketika diamati di media sosial kini banyak terjadi kekerasan simbolik anatar umat beragama.

Selain kasus Penistaan agama oleh Ahok tadi, belum lama ini muncul pula video yang viral mengenai pengucapan sumpah negara khilafah oleh banyak mahasiswa dari berbagai universitas Indonesia di kampus IPB. Dalam video tadi juga menampilkan reaksi dari para veteran Indonsia yang sedih akan generasi muda bahkan hingga menangis dan menolak habis mengenai sumpah negara khilafah tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kasus SARA merupakan kasus yang cukup berbahaya bagi  Indonesia yang merupakan negara besar yang memiliki banyak pulau dengan penduduk yang beragam keyakinannya. Kasus SARA dapat dikatakan sebuah cerminan toleransi yang saat ini sedang krisis atau juga dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dapat merubah toleransi yang ada. Kaitannya dengan media sosial adalah bahwa disini perihal kasus milik pribadi suatu golongan dapat dibagikan secara luas dan dapat mempengaruhi bahkan merubah pola pikir orang lain untuk melakukan hal serupa. Hal ini dapat merubah konstruksi pikiran masa netizen dari yang sebelumnya, bahkan menggerus toleransi sehingga harmonisasi sudah tiada lagi.

Secara sosiologis, kasus disini akan dianalisa menggunakan teori sosiologi imajinasi milik C. Wright Mills[4]. Dimana ini adalah mengenai terungkapnya akar masalah yang merupakan masalah privat yang mencuat menjadi masalah publik. Kasus SARA terhadap Ahok disini dianggap sebagai pemicunya atau masalah privatnya, dan sumpah negara khilafah yang dapat merubah jati diri Indonesia  disini dianggap sebagai masalah publik yang terjadi akibat masalah privat tadi.

Dalam teorinya, Mills membuat 3 komponen mengenai imajinasi sosiologi tadi, yakni riset sejarah, biografi, dan struktur sosial[5]. Mengenai riset sejarah, disini kasus privatnya adalah penistaan agama oleh Ahok yang dimana kasus ini akhirnya memicu golongan-golongan agama islam untuk berbondong-bondong membela agamanya. Awalnya hanya suatu permasalahan Ahok dan perkataannya, namun melebar hingga golongan agama islam yang akhirnya berusaha menguatkan. Kasus Ahok ini juga disinyalir menjadi salah satu pemicu hingga munculnya sumpah negara khilafah dari para mahasiswa. Dalam sumpah itu dikatakan bahwa negara ini sudah sangat banyak terjadi keburukan bahkan disana juga mengharamkan negara demokrasi. Komponen selanjutnya yakni biografi, disini diketahui bahwa rakyat Indonesia mayoritas beragama islam dan terdapat berbagai golongan di dalamnya. Sebagaimana sifat manusia yang selalu ingin memiliki kejayaan, sehingga terdapat eksistensi pemikiran bahwa ingin merubah jati diri seluruh masyarakat menjadi seperti golongan tadi sehingga golongan mendapatkan kejayaannya. Komponen terakhir disini adalah mengenai struktur sosial dimana disini sifat masyarakat yang mudah terpengaruh.

Selanjutnya, analisa kasus Ahok ini menjadi terlegitimasi dengan adaya pengakuan dan segelintir dampak yang terjadi. Kasus privat ini disinyalir menjadi pemicu munculnya sumpah khilafah dari mahasiswa tadi. Dimana selain itu juga kasus ini digunakan oleh kepentingan beberapa golongan untuk meribah pola pikir masyarakat sehingga terjadilah perubahan sosial. namun, perubahan sosial yang terjadi ini merupakan perubahan yang bersifat destruktif dimana perubahan sosial yang disebabkan oleh kasus SARA ini dapat menggerus toleransi bahkan dapat merubah jati diri bangsa yang sudah dipertahankan sejak lama.
Disini penulis berada di posisi netral antara kasus sumpah negara Khilafah yang merupakan dampak dari kasus Ahok dan dampak perubahan yang ditimbulkan nantinya. Yang dilakukan oleh masyarakat beragama islam di Indonesia merupakan hal yang benar dimana mereka membela agama kepercayaannya ketika ada orang yang menistakannya, namun dampak yang terjadi dari sumpah negara khilafah yang merupakan penguatan kesatuan agama islam dapat melahirkan suatu perpecahan. Hal ini diperkuat dengan minimnya toleransi saat ini serta pengaruh propaganda dari media internet yang kecepatannya bagaikan hembusan udara. Teori Mills mengenai rasionalisasinya juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perpecahan nantinya di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang luas, berpulau-pulau, beragam yang terintegrasi melalui suatu perjuangan bersama oleh berbagai pihak yang berbeda sehingga memunculkan suatu multikultural. Perkembangan zaman, kepentingan golongan, dan teknologi sebagai alat medianya dapat menggerus sikap toleransi yang sejak lama ditanamkan. Disini peran media sosial adalah sebagai jembatan penghubung yang nantinya akan menyebabkan perubahan sosial. media sosial juga menjadi alat brainwash dan propaganda yang sangat mulus untuk menyuntikkan tujuan golongan kepada pola pikir masyarakat yang akan terus tersosialisasikan melalui interaksi.
Sebagai generasi yang hidup dalam era yang dinamis, sebaiknya harus menggunakan rasionalitas dalam menilai informasi yang diperoleh dari media. Karena apabila sudah masuk kedalam informasi yang belum tentu benar tadi maka dapat merusak pola pikir awal yang merupakan jati diri identitas bangsa asli. Seperti sumpah negara khilafah tadi, hal tersebut dapat merubah jaati diri asl dan memang berusaha untuk merubah keadaan bangsa. Seharusnya sebagai generasi muda, harus dapat mempertahankan dan menanamkan kembali nilai-nilai nasionalisme dan toleransi umat beragama. Jika hal tersebut berjalan dengan baik, maka apa yang dikatakan oleh Durkheim mengenai harmonisasi sosialnya pastilah akan menjadi suatu realita. Minimnya toleransi mungkin adalah dampak dari perubahan sosial, atau bisa juga merupakan siklus dimana masyarkat itu lupa akan masa lalu bangsanya dan kuatnya propaganda golongan yang ingin jaya.



[1] Esai 
[2] Mahasiswa Pendidikan Sosiologi B 2015 (4815153006)
[3] www.liputan6.news.com (diakses pada 3 juni 2017)
[4] Catatan Kuliah Teori Sosiologi Modern-  Dosen Syaifudin
[5] Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (George Ritzer Douglas J. Goodman). Hlm. 232


Komentar