Teori Labeling
Penelitian labeling dan konsep diri ini menggunakan anak-anak remaja dan kelompok geng anak remaja sebagai objek penelitiannya. Dalam konsep ini, Thrasher dan Tannenbaum berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada remaja yang melanggar aturan. Selain itu, menurut Matza anak-anak yang telah memiliki labeling tadi mengembangkan sikap-sikap yang buruk kepada petugas kepolisian dan pengadilan akibat adanya citra diri yg buruk. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara pelabelan dan citra diri seseorang.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi). Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki". Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak. Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Penelitian labeling dan konsep diri ini menggunakan anak-anak remaja dan kelompok geng anak remaja sebagai objek penelitiannya. Dalam konsep ini, Thrasher dan Tannenbaum berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada remaja yang melanggar aturan. Selain itu, menurut Matza anak-anak yang telah memiliki labeling tadi mengembangkan sikap-sikap yang buruk kepada petugas kepolisian dan pengadilan akibat adanya citra diri yg buruk. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara pelabelan dan citra diri seseorang.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi). Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki". Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak. Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Komentar
Posting Komentar