Histori Teori labelling
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Pandangan baik secara formal maupun informal terhadap kenakalan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pelaku penyimpang tersebut yang selanjutnya berbagai penelitian dilakukan pada awal abad 90. Salah satu karya dari Frederick Thrasher yang peneliti geng remaja kelas bawah di Chicago pada tahun 1927 yang hasilnya bahwa pelabelan resmi dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dilabelkan atau dijuluki. Beberapa tahun kemudian, Frank Tannenbaum (1938) yang memperkenalkan istilah dramatisasi kejahatan yang dimana ia berpendapat bahwa secara resmi melabeli seseorang sebagai penjahat dapat mengakibatkan orang menjadi yang ia gambarkan. Kemudian dari Edwin Lemert (1951) mengembangkan konsep penyimpangan primer dan sekunder.Kemudian terdapat katya dari Charles Horton Coley dan George Herbert Mead yang mengkaji penyimpangan Labelling menurut pandangan sosiologi yang mana kedua konsep ini menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pengembangan perasaan diri dan identitas sosial.
Ketertarikan pada teori labeling tidak aktif selama tahun 1950 an, karena terdapat struktur lain yang dapat menjelaskan kenakalan, namun ada ketidakpuasan yang meningkat terhadap teori teori sebelumya dan semakin besarnya kesadaran akan kenakalan yang mendorong para kriminolog untuk kembali ke pandangan sebelumnya yang lebih mencakup untuk mencari penyebab pasti dari penyimpangan seseorang.
Asumsi Umum dari Teori Labelling
Menurut Lemert, Toeri Labelling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/label atau julukan dari masyarakat kepada seseorang yang kemudia membentuk konsep diri atau gambaran diri seseorang tersebut yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan yang sudah dijuluki oleh masyarakat terhadap dirinya. Menurut perspektif labelling bahwa citra diri yang negatif atau nakal akan diikuti oleh tindakan penyimpangan berikutnya. Jadi menurut pandangan labeling seseorang menjadi penyimpang resmi karena seseorang tersebut telah dicap atau dilabelkan negatif terlebih dahulu yang kemudian akan membentuk pribadinya sesuai dengan label tersebut.
Asumsi lain juga mengatakan bahwa proses labeling juga dilihat dari beberapa kriteria di antaranya seperti, usia pelaku, jenis kelamin, ras, kelas sosial serta norma norma organisasi dari lembaga dan departemen resmi.
Konsep dalam teori Labeling
Pada bab ini berfokus pada 2 asumsi :
1. Efek pelabelan pada citra diri.
2. Tingkah laku yang nakal dari pemberian label.
Tokoh dalam konsep ini ada 2 yaitu : Lemert dan Howard Becker
Lemert memiliki 2 konsep :
1. Penyimpangan Primer
Adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang akan tetapi si pelaku masih diakui atau diterima oleh masyarakat.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari ialah : Pengemudi yang sesekali melanggar lalu lintas.
2. Penyimpangan Sekunder
Aalah penyimpangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga pelakunya dikenal sebagai orang yang berperilaku menyimpang.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari : Pencurian.
Lemert juga melakukan diskusi mengenai pelabelan, akan tetapi ia berfokus pada reaksi masyarakat. Lemert tidak melihat penyimpangan itu baik atau buruk, akan tetapi ia melihat bagaimana reaksi masyarakat terhadap si pelaku yang melakukan perilaku menyimpang. Disamping itu, Lemert memberikan sebutan khusus untuk perilaku menyimpang dengan sebutan “sosiopatik”. Lemert juga mengkonsepkan proses reaksi dari 2 sudut yaitu dari sudut anggota masyarakat dan mereka yang melakukan penyimpangan. Dapat diketahui bahwa masyarakat sangat penting sebagai agen kontrol sosial, disini Lemert melihat peran dan tanggung atas pelabelan.
Howard Becker
Konsep 3 situasi perilaku menyimpang :
- Deviant Murni
Adalah pelanggar norma yang diakui oleh orang lain.
- Deviant yang dituduh palsu
Adalah pelanggar norma atau individu yang dituduh secara keliru.
- Penyimpangan rahasia
Adalah seseorang yang melanggar aturan atau hukum tetapi tidak diperhatikan.
Note : Deviant adalah bentuk dari perilaku
Penyimpangan rahasia menurut Becker adalah sebuah perilaku yang “melanggar aturan” tetapi tidak di respon oleh masyarakat. Penyimpangan rahasia adalah perilaku yang kemungkinan besar merupakan penyimpangan jika di amati. Dalam penyimpangan rahasia ini di jelaskan bagaimana sebuah penyimpangan rahasia menjadi perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pelabelan. Dalam penyimpangan rahasia bisa di katakan sebagai perilaku menyimpang jika berdampak tidak hanya pada aktor dan reaktor, tetapi juga orang lain. Sebuah perilaku primer bisa berubah menjadi perilaku menyimpang sekunder jika korban pelabelan bertemu dengan individu yang berlabel sama lalu mempengaruhinya untuk melakukan penyimpangan kembali dengan lebih besar dampaknya. Ada dua masalah besar yang terkait dengan teori pelabelan,yang pertama adalah pengembangan dan penegakkan aturan dan undang-undang yang ke dua adalah efek dari pelabelan.
Penelitian labeling dan konsep diri ini menggunakan anak-anak remaja dan kelompok geng anak remaja sebagai objek penelitiannya. Dalam konsep ini, Thrasher dan Tannenbaum berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada remaja yang melanggar aturan.Selain itu, menurut Matza anak-anak yang telah memiliki labeling tadi mengembangkan sikap-sikap yang buruk kepada petugas kepolisian dan pengadilan akibat adanya citra diri yg buruk.Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara pelabelan dan citra diri seseorang.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi).Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki".Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak.Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Studi penelitian mengenai konsep diri oleh beberapa tokoh :
• Studi foster yang sementara ini tidak secara khusus membahas mengenai konsep diri. Hasilnya jelas terlihat karena tidak memberikan dukungan kepada pernyataan bahwa tidak dipengaruhi oleh label kenakalan formal. Penelitiannya lainnya menjelaskan bagaimana label kenakalan formal ini tidak memiliki efek langsung pada konsep diri.
• Leonard Gibs yang membandingkan gambaran kenakalan dengan tingkat harga diri. Dia mengemukakan bahwa penjahat resmi memandang diri mereka lebih buruk setelah dipenjara daripada masih dalam proses pengadilan.
• Jensen berasumsi bahwa identitas yang buruk tidak selalu memiliki harga diri yang rendah. Jensen juga membandingkan harga diri dengan kenakalan resmi berdasarkan ras ( kulit putih dan kulit hitam) dan kelas sosial ( atas, menengah, dan bawah) studi ini ada pada orang afrika- amerika.
Jensen menegaskan kembali kesimpulannya bahwa label resmi itu lebih berdampak pada citra diri dan sikap mereka yang kurang banyak terlibat dalam kenakalan. Masa depan dari penangkapan seeorang atau proses pengadilan tidak mungkin memiliki dampak yang signifikan pada konsep diri remaja, terutama dibandingkan dengan remaja yang dipenjara atau dikirim ke pengadilan untuk yang pertama kalinya.Hasil penelitian remaja reformatories tidak konsisten mengenai efek dari penjara pada konsep diri dan sikap. Hasil penelitian remaja reformatories juga menyimpulkan bahwa usia kenakalan adalah sekitar usia 16tahun. Saat ini laki-laki diwakili hanya sebesar 18persen dari semua orang yang ditangkap.Akibat dari kenakalan remaja ini harga untuk perempuan cenderung rendah.Penelitian ini juga menyimpulkan penangkapan pada kenakalan remaja tidak mengarah pada pencegahan.Menurut remaja reformatories pelabelan merupakan efek resmi dari crimi-nality.
Deliquency ( orang yang melakukan kejahatan) sudah masuk kedalam tahap kepolisian dan pengadilan akan menimbulkan kecurigaan masayarakat akan tindakannya di masa mendatang.
Asumsi ini di dukung oleh Bishop (1996) yang melakukan penelitian terhadap 2.700 pemuda laki-laki dengan prilaku menyimpang yang kasusnya diteruskan ditahap kepolisian dan pengadilan, hasilnya mereka yang sudah bebas menjalani hukuman dipenjara menjadi lebih nakal dibandingkan dengan kasus penyimpangan yang ditidak masuk ke tahap penjara. Peningkatan Resividis ini di dukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Mendapatkan perlakuan tidak adail selama individu tersebut menjalani proses hokum di penjara. Contohnya apparat yang semena-mena bukan menuntun pembinaan dengan cara yang baik dan benar
2. Adanya hubungan yang saling mempengaruhi di penjara ( bisa hubungan baik atau buruk ). Contohnya individu yang melakukan pencurian hp digabungkan dengan sel penjara perampok bank kelas kakap maka di dalam sel tersebut individu bisa bertukar informasi bagaimana cara mencuri dengan hasil yang besar.
Berikut ini beberapa penelitian yang di lakukan oleh Matsueda dan kawan-kawan, dalam membantu teori labeling.
1. Matseuda
a. Kenakalan remaja akan mengakibatkan keterasingan orangtua pada anaknya, karena perilaku nakal yang dimiliki anaknya.
b. Orangtua yang melabelkan anaknya sebagai anti sosial atau pembuat onar, maka hal tersebut yang menyebabkan kenakalan di masa depan. Karena label tesebut akan melemahkan hubungan anak dan orangtua.
2. Heimer dan Matsueda (1994)
a. Dalam penelitian yang diambil dari data survei pemuda nasional. Kesimpulannya adalah, pelapelan yang dilakukan oleh orangtua, guru, bahkan orang-orang terdekat lainnya, akan menjadi faktor tambahan atas tindak kejahatan dan kenkalan remaja. Karena anak tersebut akan mengambil peran sebagai orang yang berperilaku menyimpang atas pelabelan.
3. Bartush dan Matsueda (1996)
a. Perilaku-perilaku yang diambil atas pelabelan oranglain, bisa dipengaruhi oleh identitas gender terutama pada anak laki-laki.
b. Dampak negatif dari pelabelan informal lebih menonjol di laki-laki daripada perempuan. Terutama untuk laki-laki yang mengindetifikasi dirinya sebagai laki-laki. Dimana dalam hal ini, anak laki-laki akan bertindak sebagaimana laki-laki, ditambah labelling dari orangtua, bahwa anak laki-laki adalah pembuat onar.
Kesimpulan Teori Pelabelan
Teori pelabelan hadir karena adanya ketidakpuassan dari para ahli sosiolog dan kriminolog dalam mengkaji perilaku menyimpang. Dalam kajiannya teori pelabelan ini melihat penyimpangan berdasarkan label yang diberikan kepada pelaku. Dimana label ini menyimbulkan adanya hubungan identitas diri dengan perilaku dari yang melakukan penyimpangan tersebut. Label yang diberikan kepada pelaku hadir karena pelaku telah melakukan penyimpangan primer, bahkan ada pula yang diberi label orang masyarakat karena berada pada kelompok yang dipandang selalu menyimpang. Pelaku yang telah diberikan label tersebut mengganggap dirinya telah buruk dimata luar maka pelaku ini bisa melakukan penyimpangan yang lebih besar atau bisa dikatakan penyimpangan sekunder. Label penyimpangan pada seseorang juga hadir karena adanya label resmi seperti dari ras,etnis bahkan kelas sosial. Dimana orang dari kelas sosial bawah dianggap lebih sering melakukan penyimpangan daripada orang dari kelas sosial atas.
Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Pandangan baik secara formal maupun informal terhadap kenakalan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pelaku penyimpang tersebut yang selanjutnya berbagai penelitian dilakukan pada awal abad 90. Salah satu karya dari Frederick Thrasher yang peneliti geng remaja kelas bawah di Chicago pada tahun 1927 yang hasilnya bahwa pelabelan resmi dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dilabelkan atau dijuluki. Beberapa tahun kemudian, Frank Tannenbaum (1938) yang memperkenalkan istilah dramatisasi kejahatan yang dimana ia berpendapat bahwa secara resmi melabeli seseorang sebagai penjahat dapat mengakibatkan orang menjadi yang ia gambarkan. Kemudian dari Edwin Lemert (1951) mengembangkan konsep penyimpangan primer dan sekunder.Kemudian terdapat katya dari Charles Horton Coley dan George Herbert Mead yang mengkaji penyimpangan Labelling menurut pandangan sosiologi yang mana kedua konsep ini menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pengembangan perasaan diri dan identitas sosial.
Ketertarikan pada teori labeling tidak aktif selama tahun 1950 an, karena terdapat struktur lain yang dapat menjelaskan kenakalan, namun ada ketidakpuasan yang meningkat terhadap teori teori sebelumya dan semakin besarnya kesadaran akan kenakalan yang mendorong para kriminolog untuk kembali ke pandangan sebelumnya yang lebih mencakup untuk mencari penyebab pasti dari penyimpangan seseorang.
Asumsi Umum dari Teori Labelling
Menurut Lemert, Toeri Labelling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/label atau julukan dari masyarakat kepada seseorang yang kemudia membentuk konsep diri atau gambaran diri seseorang tersebut yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan yang sudah dijuluki oleh masyarakat terhadap dirinya. Menurut perspektif labelling bahwa citra diri yang negatif atau nakal akan diikuti oleh tindakan penyimpangan berikutnya. Jadi menurut pandangan labeling seseorang menjadi penyimpang resmi karena seseorang tersebut telah dicap atau dilabelkan negatif terlebih dahulu yang kemudian akan membentuk pribadinya sesuai dengan label tersebut.
Asumsi lain juga mengatakan bahwa proses labeling juga dilihat dari beberapa kriteria di antaranya seperti, usia pelaku, jenis kelamin, ras, kelas sosial serta norma norma organisasi dari lembaga dan departemen resmi.
Konsep dalam teori Labeling
Pada bab ini berfokus pada 2 asumsi :
1. Efek pelabelan pada citra diri.
2. Tingkah laku yang nakal dari pemberian label.
Tokoh dalam konsep ini ada 2 yaitu : Lemert dan Howard Becker
Lemert memiliki 2 konsep :
1. Penyimpangan Primer
Adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang akan tetapi si pelaku masih diakui atau diterima oleh masyarakat.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari ialah : Pengemudi yang sesekali melanggar lalu lintas.
2. Penyimpangan Sekunder
Aalah penyimpangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga pelakunya dikenal sebagai orang yang berperilaku menyimpang.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari : Pencurian.
Lemert juga melakukan diskusi mengenai pelabelan, akan tetapi ia berfokus pada reaksi masyarakat. Lemert tidak melihat penyimpangan itu baik atau buruk, akan tetapi ia melihat bagaimana reaksi masyarakat terhadap si pelaku yang melakukan perilaku menyimpang. Disamping itu, Lemert memberikan sebutan khusus untuk perilaku menyimpang dengan sebutan “sosiopatik”. Lemert juga mengkonsepkan proses reaksi dari 2 sudut yaitu dari sudut anggota masyarakat dan mereka yang melakukan penyimpangan. Dapat diketahui bahwa masyarakat sangat penting sebagai agen kontrol sosial, disini Lemert melihat peran dan tanggung atas pelabelan.
Howard Becker
Konsep 3 situasi perilaku menyimpang :
- Deviant Murni
Adalah pelanggar norma yang diakui oleh orang lain.
- Deviant yang dituduh palsu
Adalah pelanggar norma atau individu yang dituduh secara keliru.
- Penyimpangan rahasia
Adalah seseorang yang melanggar aturan atau hukum tetapi tidak diperhatikan.
Note : Deviant adalah bentuk dari perilaku
Penyimpangan rahasia menurut Becker adalah sebuah perilaku yang “melanggar aturan” tetapi tidak di respon oleh masyarakat. Penyimpangan rahasia adalah perilaku yang kemungkinan besar merupakan penyimpangan jika di amati. Dalam penyimpangan rahasia ini di jelaskan bagaimana sebuah penyimpangan rahasia menjadi perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pelabelan. Dalam penyimpangan rahasia bisa di katakan sebagai perilaku menyimpang jika berdampak tidak hanya pada aktor dan reaktor, tetapi juga orang lain. Sebuah perilaku primer bisa berubah menjadi perilaku menyimpang sekunder jika korban pelabelan bertemu dengan individu yang berlabel sama lalu mempengaruhinya untuk melakukan penyimpangan kembali dengan lebih besar dampaknya. Ada dua masalah besar yang terkait dengan teori pelabelan,yang pertama adalah pengembangan dan penegakkan aturan dan undang-undang yang ke dua adalah efek dari pelabelan.
Penelitian labeling dan konsep diri ini menggunakan anak-anak remaja dan kelompok geng anak remaja sebagai objek penelitiannya. Dalam konsep ini, Thrasher dan Tannenbaum berpendapat bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat kepada remaja yang melanggar aturan.Selain itu, menurut Matza anak-anak yang telah memiliki labeling tadi mengembangkan sikap-sikap yang buruk kepada petugas kepolisian dan pengadilan akibat adanya citra diri yg buruk.Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara pelabelan dan citra diri seseorang.
Selanjutnya, William Chambliss melakukan penelitian terhadap 2 kelompok geng remaja (kelas atas menyebut diri mereka geng orang suci atas dasar kedudukan kelas sosial dan kehormatan yg dimiliki dan kelas bawah menyebut diri mereka geng kasar dan sering berurusan dengan polisi).Karena kelompok geng orang suci mempunyai reputasi yang baik di masyarkat, maka perilaku kenakalan yang mereka lakukan ini cenderung dianggap "ini yang memang akan dilakukan anak laki-laki".Sebaliknya dengan kelompok geng kasar yang perilakunya dianggap "pembawa masalah". Anggota kelompok geng suci tidak pernah melihat diri mereka sebagai penjahat dan justru lebih pada anggapan melakukan suatu hal "kenakalan" demi kesenangan dan masyarakat masih melabelkan hal positif terhadap mereka, karena tidak ada korban dari hal yang mereka lakukan tersebut. Sedangkan kelompok geng kasar, sekecil apapun kenakalan yang mereka perbuat justru masyarakat semakin mencemooh.
Menurut Chambliss, karena dianggap memiliki citra buruk maka kelompok geng kasar ini semakin mencari orang yang memiliki nasib yang sama dengan mereka dan turut bergabung bersama. Ini akibat adanya pelabelan negatif terhadap citra diri anggota yang membuat beban bagi diri mereka sehingga mencari teman dengan nasib sama.
Inti penelitian kualitatif ini adalah terdapat bukti bahwa pelabelan memiliki kontribusi terhadap citra diri seseorang. Label kenakalan akan menghasilkan pribadi yg nakal pula.
Jack Foster dkk selanjutnya melakukan penelitian kuantitatif, dengan 196 remaja laki-laki di Amerika yg telah ditangkap dan dirujuk ke pengadilan anak.Mereka merasa tidak ada perubahan hubungan antar orangtua dan keluarga mereka di rumah. 90% dari mereka merasa sekolahnya pun akan lancar-lancar saja. 40% merasa peluang pekerjaan upah tinggi mungkin telah melayang bagi mereka akibat adanya catatan kenakalan.
Studi penelitian mengenai konsep diri oleh beberapa tokoh :
• Studi foster yang sementara ini tidak secara khusus membahas mengenai konsep diri. Hasilnya jelas terlihat karena tidak memberikan dukungan kepada pernyataan bahwa tidak dipengaruhi oleh label kenakalan formal. Penelitiannya lainnya menjelaskan bagaimana label kenakalan formal ini tidak memiliki efek langsung pada konsep diri.
• Leonard Gibs yang membandingkan gambaran kenakalan dengan tingkat harga diri. Dia mengemukakan bahwa penjahat resmi memandang diri mereka lebih buruk setelah dipenjara daripada masih dalam proses pengadilan.
• Jensen berasumsi bahwa identitas yang buruk tidak selalu memiliki harga diri yang rendah. Jensen juga membandingkan harga diri dengan kenakalan resmi berdasarkan ras ( kulit putih dan kulit hitam) dan kelas sosial ( atas, menengah, dan bawah) studi ini ada pada orang afrika- amerika.
Jensen menegaskan kembali kesimpulannya bahwa label resmi itu lebih berdampak pada citra diri dan sikap mereka yang kurang banyak terlibat dalam kenakalan. Masa depan dari penangkapan seeorang atau proses pengadilan tidak mungkin memiliki dampak yang signifikan pada konsep diri remaja, terutama dibandingkan dengan remaja yang dipenjara atau dikirim ke pengadilan untuk yang pertama kalinya.Hasil penelitian remaja reformatories tidak konsisten mengenai efek dari penjara pada konsep diri dan sikap. Hasil penelitian remaja reformatories juga menyimpulkan bahwa usia kenakalan adalah sekitar usia 16tahun. Saat ini laki-laki diwakili hanya sebesar 18persen dari semua orang yang ditangkap.Akibat dari kenakalan remaja ini harga untuk perempuan cenderung rendah.Penelitian ini juga menyimpulkan penangkapan pada kenakalan remaja tidak mengarah pada pencegahan.Menurut remaja reformatories pelabelan merupakan efek resmi dari crimi-nality.
Deliquency ( orang yang melakukan kejahatan) sudah masuk kedalam tahap kepolisian dan pengadilan akan menimbulkan kecurigaan masayarakat akan tindakannya di masa mendatang.
Asumsi ini di dukung oleh Bishop (1996) yang melakukan penelitian terhadap 2.700 pemuda laki-laki dengan prilaku menyimpang yang kasusnya diteruskan ditahap kepolisian dan pengadilan, hasilnya mereka yang sudah bebas menjalani hukuman dipenjara menjadi lebih nakal dibandingkan dengan kasus penyimpangan yang ditidak masuk ke tahap penjara. Peningkatan Resividis ini di dukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Mendapatkan perlakuan tidak adail selama individu tersebut menjalani proses hokum di penjara. Contohnya apparat yang semena-mena bukan menuntun pembinaan dengan cara yang baik dan benar
2. Adanya hubungan yang saling mempengaruhi di penjara ( bisa hubungan baik atau buruk ). Contohnya individu yang melakukan pencurian hp digabungkan dengan sel penjara perampok bank kelas kakap maka di dalam sel tersebut individu bisa bertukar informasi bagaimana cara mencuri dengan hasil yang besar.
Berikut ini beberapa penelitian yang di lakukan oleh Matsueda dan kawan-kawan, dalam membantu teori labeling.
1. Matseuda
a. Kenakalan remaja akan mengakibatkan keterasingan orangtua pada anaknya, karena perilaku nakal yang dimiliki anaknya.
b. Orangtua yang melabelkan anaknya sebagai anti sosial atau pembuat onar, maka hal tersebut yang menyebabkan kenakalan di masa depan. Karena label tesebut akan melemahkan hubungan anak dan orangtua.
2. Heimer dan Matsueda (1994)
a. Dalam penelitian yang diambil dari data survei pemuda nasional. Kesimpulannya adalah, pelapelan yang dilakukan oleh orangtua, guru, bahkan orang-orang terdekat lainnya, akan menjadi faktor tambahan atas tindak kejahatan dan kenkalan remaja. Karena anak tersebut akan mengambil peran sebagai orang yang berperilaku menyimpang atas pelabelan.
3. Bartush dan Matsueda (1996)
a. Perilaku-perilaku yang diambil atas pelabelan oranglain, bisa dipengaruhi oleh identitas gender terutama pada anak laki-laki.
b. Dampak negatif dari pelabelan informal lebih menonjol di laki-laki daripada perempuan. Terutama untuk laki-laki yang mengindetifikasi dirinya sebagai laki-laki. Dimana dalam hal ini, anak laki-laki akan bertindak sebagaimana laki-laki, ditambah labelling dari orangtua, bahwa anak laki-laki adalah pembuat onar.
Kesimpulan Teori Pelabelan
Teori pelabelan hadir karena adanya ketidakpuassan dari para ahli sosiolog dan kriminolog dalam mengkaji perilaku menyimpang. Dalam kajiannya teori pelabelan ini melihat penyimpangan berdasarkan label yang diberikan kepada pelaku. Dimana label ini menyimbulkan adanya hubungan identitas diri dengan perilaku dari yang melakukan penyimpangan tersebut. Label yang diberikan kepada pelaku hadir karena pelaku telah melakukan penyimpangan primer, bahkan ada pula yang diberi label orang masyarakat karena berada pada kelompok yang dipandang selalu menyimpang. Pelaku yang telah diberikan label tersebut mengganggap dirinya telah buruk dimata luar maka pelaku ini bisa melakukan penyimpangan yang lebih besar atau bisa dikatakan penyimpangan sekunder. Label penyimpangan pada seseorang juga hadir karena adanya label resmi seperti dari ras,etnis bahkan kelas sosial. Dimana orang dari kelas sosial bawah dianggap lebih sering melakukan penyimpangan daripada orang dari kelas sosial atas.
Komentar
Posting Komentar